Sabtu, 08 Desember 2012

cerpen saya


Melukis Impian di Negeri Awan

Terik matahari sekan membakar kulit. Daun-daun kelapa sawit menutupi teriknya matahari, sehingga kesejukkannya masih bisa dirasakan. Tertancap sebuah pondasi rumah sederhana dengan halaman rumahnya yang cukup luas. Bangunan rumahnya sendiri tidak terlalu besar, terletak disebuah kampung yang sukar dilewati kendaraan beroda empat, namanya Desa Upah. Disekitar terlihat anak-anak yang menggembalakan sapinya, sedang bermain-main di alur anak sungai. Semua orang bergegas pergi ke tempat mereka bekerja. Pencaharian mereka sebagian besar menjadi karyawan di pabrik-pabrik yang ada di desa.
Irawan adalah nama seorang anak lelaki salah satu mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam yang terletak di kota. Ia kini hidup bersama Ibunya dan seorang adik perempuan, Ayahnya telah lama meninggalkan mereka. Sehingga pada saat itu Irawan menjadi tulang punggung keluarganya dengan kondisi Ibunya yang sudah berumur.
“Ibu... Awan pergi ya! sudah telat ini,” kata Irawan sambil bergegas keluar rumah.
Awan pun langsung pergi ke kampusnya dengan angkutan umum. Awan merupakan nama panggilan dari Irawan. Berbeda dengan anak yang seusianya, Awan memiliki tekad yang kuat untuk melanjutkan kuliahnya. Para pemuda di sana sangat sedikit yang memilih untuk kuliah, mereka lebih memilih untuk bekerja, sebagian mereka ngangkeng, bekerja di sawah, menjadi kuli pasir, dan sebagian besar menjadi karyawan pada pabrik kelapa sawit.
Awan merupakan mahasiswa jurusan Bahasa Inggris dan dia termasuk anak yang berprestasi di kampusnya. Awan sangat menyukai Bahasa Inggris karena baginya Bahasa Inggris merupakan The keys of the world dan Awan memiliki cita-cita ingin ke luar negeri. Dari kecil, Awan sudah sangat terlihat kemandiriannya, Ibunya selalu menanamkan nilai-nilai agama yang sangat kuat pada dirinya. Tidak lupa shalat berjamaah di mesjid dan mengajarkan anak-anak di desa untuk belajar mengaji.
Seusai kuliah, Awan pulang ke rumah. Di sana sudah ada adik perempuannya yang biasanya dipanggil Nita bersama Ibunya.
“Nita, sedang apa kamu dek?,” tanya Awan
“Eh, ulong ! sudah pulang ya. Aku sedang bantu ibu masak masakan kesukaanmu,”
Ulong merupakan bahasa Aceh Tamiang yang berarti anak pertama.
“Masak apa? Perut abangmu gak sabar ini ingin makan masakan kamu,”
“Ah, si Abang kalau mau enak aja ya baik sama kita. Ini loh Bang, Aku buatin Bubur Pedas,”
“Si Nita memang adik yang paling baik ya, akan Abang habiskan semua buburnya,”
Perbincangan di sore itu sangat akrab. Awan dan Nita terbiasa dengan canda dan tawa dalam keseharian mereka. Awan memang sangat menyukai Bubur Pedas. Bubur ini merupakan salah satu makanan khas dari Aceh Tamiang. Bubur ini memiliki cita rasa yang khas dan mempunya kesan tersendiri bagi yang memakannya, selain rasanya yang menggugah selera, cara pembuatannya juga sangat sederhana. Terbuat dari beras yang disangrai kemudian ditumbuk halus, ditambah dengan tetelan, bumbu halus, daun salam, serai dan lengkuas. Beras dimasak dan ditambahkan dengan wortel, kacang panjang, kangkung, ubi, dimasak hingga matang. Bisa ditambahkan dengan ikan teri, bawang goreng, dan kerupuk. Campuran dari segala banyaknya bahan kata orang-orang tua dulu mengandung arti kalau masyarakat Tamiang yang bersuku-suku kalau ingin saling berkuasa sendiri pasti akan hancur, tapi kalau sendiri pasti menjadi kuat dan nyaman bagi semua. Inilah merupakan sedikit cerita singkat, mengapa bubur pedas ini terdiri dari banyak campuran berbagai macam bahan masak.
“Bang, aku pinginlah bisa ke kota Banda Aceh. Tau gak, kemaren si Mila anak tetangga sebelah ada foto di facebook nya lagi jalan-jalan ke Museum Tsunami, ternyata Aceh kaya ya Bang!”
“Iyalah Nita, Aceh memang memiliki banyak sekali tempat wisata yang memiliki keindahan alami dan luar biasa. Walaupun belum pernah ke sana, tapi sering mendengar dan membaca berbagai informasi mengenai Aceh sekarang. Museum Tsunami itu salah satu bangunan untuk mengenang kembali peristiwa Tsunami yang menimpa Aceh 26 Desember 2004 silam. Sudah magrib ini, Abang mau siap-siap dulu ke mesjid.”

---
Keesokan harinya, Awan kembali bergegas ke kampusnya. Seperti biasa dengan menggunakan angkutan umum. Kalau tidak ada, Awan terpaksa pergi dengan Pak Abu, seorang pemilik kebun kelapa sawit. Hari itu Awan terlambat dan untung saja ada Pak Abu yang masih menghidupkan truknya.
“Pak Abu saya boleh numpang pak?”
“Iya, tentu saja tolong kamu angkat biji-biji sawit ini,”
            Akhirnya Awan berangkat dengan Pak Abu, di dalam perjalanan mereka pun mendiskusikan hasil kelapa sawit yang dimiliki Pak Abu.
            Awan di kampusnya sering ke perpustakaan untuk membaca. Biasanya buku yang Ia baca tentang Aceh. Dia sangat menyenangi bacaan tersebut, selain memperluas wawasan bisa lebih mencintai tanah kelahirannya.
---
            Hari ini Sabtu, setelah pulang dari kuliahnya, Awan memiliki pekerjaan yang sangat Ia gemari.
            “Ibu, Aku mau pergi ke Bukit Kerang ini. Dimana kue-kuenya?”
            “Iya Nak, itu sudah Ibu bungkus di dalam plastik hitam di dapur. Habiskan ya dagangannya!”
            “Iya Mak, Aku pergi dulu. Assalamualaikum,” jawab Awan.
            Setelah berpamitan, Awan bergegas pergi menuju Bukit Kerang yang memakan waktu satu jam dari rumahnya. Situs Bukit Kerang atau juga disebut Bukit Kerang Moluska ini terletak di desa Jambo Labu merupakan salah satu objek wisata yang terdapat di sana. Dinamakan Bukit Kerang karena terdapat tumpukan kerang seperti bukit yang tinggi dan besar. Situs Prasejarah ini terbentuk dari limbah kerang moluska dibangun dari waktu ke waktu. Awan menjadi salah seorang pengunjung di sana. Namun, Awan tidak hanya berkunjung, setiap Sabtu dan Minggu sore Ia ke sana untuk membantu perekonomian keluarganya dengan menjual Timphan. Tidak hanya itu, Awan juga menjadi pemandu jika ada wisatawan yang berkunjung. Dengan menggunakan kelihaian berbahasa dalam menjelaskan berbagai pertanyaan pengunjung dan keramahannya, tidak heran banyak pengunjung yang tertarik dan senang terhadap Awan.
            Hari semakin sore, Awan pun bersiap-siap untuk pulang ke rumah.
            “Alhamdulillah, dagangan Ibu laku semua,” bisiknya dalam hati
            “Semoga saja dengan begini, Aku bisa membahagiakan Ibu. Suatu saat! Aku pasti bisa!”
---
            “Abang... Bangun! Udah pagi,” Nita membangunkan Awan yang masih tidur.
            “Iya, Abang terlalu lelah ini langsung ketiduran. Yasudah, kita Shalat Subuh berjamaah di rumah ya,”
            Kemudian mereka shalat subuh berjamaah.
            Seusai Shalat Subuh, mereka pun kembali melanjutkan kegiatan sehati-hari. Hari ini Minggu, saatnya gotong royong untuk membersihkan rumah dan halamannya. Sementara Nita dan Ibu memasak nasi minyak dan sambal Belacan Tutuk. Nasi minyak sudah menjadi masakan khas masyarakat di Nusantara ini. Sedangkan Belacan Tutuk adalah terasi yang terbuat dari udang sabu asli dan menjadi souvenir khas dari Aceh Tamiang.
            Seperti biasanya, Awan pergi ke Bukit Kerang untuk melaksanakan aktifitasnya. Sampai di sana, Awan melihat sekelompok orang sedang berkumpul. Melihat hal tersebut, Awan langsung menghampiri kerumunan itu. Ternyata di sana ada turis asing bersama keluarganya sedang berekreasi. Sepertinya mereka sedang kebingungan, Awan pun mencoba untuk menolong mereka.
            Hello Sir, May I help you
            Oh, Yes. I need someone to tell about this place,”
            Okay. Sir, Nice to meet you. Yes. I want to tell about Bukit Kerang,”
            Sambil melanjutkan pembicaraan bersama turis asing itu, Awan tidak hanya menjelaskan mengenai Bukit Kerang. Namun, Awan juga menjelaskan tempat-tempat wisata lainnya yang terdapat di sana seperti Air Terjun Tujuh Tingkat, Bendungan, Gua Wallet, dan Pantai Seruway yang tidak kalah indahnya.
            Dengan kelihaian mahasiswa jurusan bahasa Inggris ini, Ia pun mencoba menawarkan Timphan khas Ibunya.
            Sir, do you want to eat this food? This is one of traditional food. This is made by my mother,”
            Thank you, This is very nice. May I learn how to make this?”
            Sure, Sir. I’m glad to help you,”
            Tiba-tiba turis tersebut mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
            Oke Son, this is my cardname. I want to invite you to my house in London,” dengan wajah yang serius turis ini ingin mengajaknya pergi bersama ke London dan memberikan kesempatan untuk bersekolah disana. Ternyata turis ini tertarik dengan keramahan dan wawasan yang Awan miliki. Kemudian, Awan akan diberikan semua fasilitas yang diperlukan. Selain itu, Ia juga dipercayakan menjadi seorang guru untuk mengenalkan budaya Indonesia. Mendengar hal tersebut Awan tidak henti-hentinya mengucapkan syukur dan Awan sangat bahagia. Bagaikan petir di siang hari, seakan-akan Ia tidak percaya bahwa seorang anak desa yang tidak pernah mengenal apa-apa kini diajak ke Negeri orang.
---


Seusai shalat magrib, di dalam doa Awan
            “Ya Allah, terima kasih nikmat yang Engkau berikan ini. Saya tidak pernah mengira sebelumnya. Namun, Ini semua telah terjawab. Engkau Maha Mendengar impian hamba. Hamba percaya akan kegigihan dan semangat ini dan doa dari orang tua akan menghasilkan suatu keajaiban. Tidak putusnya ku panjatkan syukurku padaMu. Namun, mengingat usia Ibu sudah bertambah bersama adik perempuan yang masih kecil, sedangkan perekonomian keluarga kami pas-pasan. Hamba sepertinya mundur, tidak bisa meninggalkan mereka. Tapi, semua itu hamba serahkan kepadamu ya Allah. Engkau lebih mengetahui yang terbaik dan apa yang saya butuhkan,”
            Dalam doanya Awan sambil meneteskan air mata, Ia bingung harus pergi atau tetap bersama Ibunya. Dilihatnya kembali kartu nama turis itu. Perasaan Awan malam ini tidak tenang. Ia terus berdoa agar diberikan petunjuk.
---
Keesokan harinya. Setelah pulang kuliah, tiba-tiba Awan melihat sebuah mobil di depan rumahnya.
“Itu, sepertinya mobil Yah Bang, ada apa ya?”
Yah Bang adalah abang dari ayahnya yang tinggal di kota Banda Aceh. Sampai ke pintu rumah, melihat Ibu, Nita, dan Yah Bang sedang duduk bersama sambil meminum Kupi Aceh dan Kue Boi .
“Assalamualaikum. Yah Bang,” salam Awan seraya masuk ke rumah
“Waalaikumsalam. Awan, ada yang perlu Yah Bang ceritakan kepadamu,”
Kemudian Yah Bang menjelaskan maksud dan tujuannya, yaitu beliau ingin mengajak Awan sekeluarga untuk tinggal sementara bersama istri Yah Bang di Banda Aceh karena beliau mendapatkan pekerjaan di Pulau Jawa. Mendengar hal itu, pikiran Awan bertambah bercabang tidak menentu.
“Iya yah Bang. Insyaallah kami bisa. Lagi pula Awan mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Biarkan saya sementara di Banda. Setelah Awan pulang, saya ingin kembali ke sini,” tiba-tiba ibu menjawab dengan perasaan yang haru.
Dipeluknya erat-erat Ibu, “Ibu Awan sangat mencintaimu, tidak ada Ibu yang lain sepertimu. Ibu terbaik buat Awan,”
Setelah semua selesai, akhirnya Awan berangkat ke London dan Ibu berserta Nita tinggal bersama istri Yah Bang di Banda Aceh. Dengan tekad yang kuat dan tidak ingin mengecewakan Ibu, Awan serius menjalankannya.
Selama di London, Awan hanya bisa berdoa agar Ibu baik-baik saja dan rasa rindu terhadap kampung halaman semakin besar. Ia pun sukses dengan meraih berbagai penghargaan di bangku kuliahnya dan menjadi seorang koki yang handal di sebuah restauran Asia ternama. Setelah sekian lama Awan tinggal di London, akhirnya hari yang sangat ditunggu datang.
“Ya! Tiga hari lagi aku akan pulang!” teriak Awan
---
Awan senang tidak menentu, selama di pesawat Awan terus tersenyum dan tiba juga di Bandara Sultan Iskandar Muda. Di bandara yang megah, bangunannya dengan arsitektur bernuansa Turki ini menambah khasnya.
Beberapa hari di Banda Aceh, Awan menyempatkan diri untuk mengunjungi Museum Tsunami, Mesjid Raya Baiturrahman, Taman Putro Phang, dan yang tidak kalah indahnya Pantai Lhoknga. Pantai Lhoknga sudah menjadi tempat wisata masyarakat Aceh bahkan manca negara. Banyak pohon-pohon rindang terutama pohon kelapa berjejer dan rimbun dan juga ada pohon cemara. Pantai ini memiliki pasir putih dengan lautnya yang biru tampak ikan-ikan kecil berwarna-warni di dalamnya. Deretan penjual makanan dan minuman di pondok-pondok pantai, memiliki kesenangan tersendiri bagi pengunjungnya.
Awan beserta keluarga kembali pulang ke Desa Upah tercinta. Awan pun memulai hidup barunya dengan merenovasi rumah. Setelah menerima cukup penghasilan selama di London, Awan membuka sebuah Restoran Khas Aceh yang dihadiahkan untuk Ibu dan Nita. Rasa bangga dan haru karena anak lelaki sematawayangnya, Ibu tersenyum dalam tangis bahagianya. Kini Awanku menjadi anak yang sukses. Awan yakin bahwa mimpi kecil akan menjadi besar jika kita mau, semua ada jalan. Tidak lupa pula, setiap Sabtu dan Minggu Awan mengunjungi Bukit Kerang dan ikut menjadi sukarelawan dalam pemeliharaan dan pelestarian tempat wisata lainnya. “Kecintaanku terhadap tanah kelahiranku Aceh, tidak akan putus sampai ku menutup mata,”.

Selesai



  



 Lampiran Penulis
Nama                          : Dara Elvia Rahayu Sukma
Alamat                        : Jalan Prada Utama lr. Komplek pariwisata no.9 , Banda Aceh
Nomor telepon/hp       : 085277722011
e-mail                          : daraelviarahayusukma@yahoo.com
 Pekerjaan                    : Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Univ. Syiah Kuala
Kategori perlombaan : CERPEN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar