Melukis Impian
di Negeri Awan
Terik
matahari sekan membakar kulit. Daun-daun kelapa sawit menutupi teriknya
matahari, sehingga kesejukkannya masih bisa dirasakan. Tertancap sebuah pondasi
rumah sederhana dengan halaman rumahnya yang cukup luas. Bangunan rumahnya
sendiri tidak terlalu besar, terletak disebuah kampung yang sukar dilewati kendaraan
beroda empat, namanya Desa Upah. Disekitar terlihat anak-anak yang
menggembalakan sapinya, sedang bermain-main di alur anak sungai. Semua orang
bergegas pergi ke tempat mereka bekerja. Pencaharian mereka sebagian besar
menjadi karyawan di pabrik-pabrik yang ada di desa.
Irawan
adalah nama seorang anak lelaki salah satu mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam
yang terletak di kota. Ia kini hidup bersama Ibunya dan seorang adik perempuan,
Ayahnya telah lama meninggalkan mereka. Sehingga pada saat itu Irawan menjadi
tulang punggung keluarganya dengan kondisi Ibunya yang sudah berumur.
“Ibu...
Awan pergi ya! sudah telat ini,” kata Irawan sambil bergegas keluar rumah.
Awan
pun langsung pergi ke kampusnya dengan angkutan umum. Awan merupakan nama
panggilan dari Irawan. Berbeda dengan anak yang seusianya, Awan memiliki tekad
yang kuat untuk melanjutkan kuliahnya. Para pemuda di sana sangat sedikit yang
memilih untuk kuliah, mereka lebih memilih untuk bekerja, sebagian mereka ngangkeng, bekerja di sawah, menjadi
kuli pasir, dan sebagian besar menjadi karyawan pada pabrik kelapa sawit.
Awan
merupakan mahasiswa jurusan Bahasa Inggris dan dia termasuk anak yang
berprestasi di kampusnya. Awan sangat menyukai Bahasa Inggris karena baginya
Bahasa Inggris merupakan The keys of the
world dan Awan memiliki cita-cita ingin ke luar negeri. Dari kecil, Awan
sudah sangat terlihat kemandiriannya, Ibunya selalu menanamkan nilai-nilai
agama yang sangat kuat pada dirinya. Tidak lupa shalat berjamaah di mesjid dan
mengajarkan anak-anak di desa untuk belajar mengaji.
Seusai
kuliah, Awan pulang ke rumah. Di sana sudah ada adik perempuannya yang biasanya
dipanggil Nita bersama Ibunya.
“Nita,
sedang apa kamu dek?,” tanya Awan
“Eh,
ulong ! sudah pulang ya. Aku sedang
bantu ibu masak masakan kesukaanmu,”
Ulong
merupakan bahasa Aceh Tamiang yang berarti anak pertama.
“Masak
apa? Perut abangmu gak sabar ini ingin makan masakan kamu,”
“Ah,
si Abang kalau mau enak aja ya baik sama kita. Ini loh Bang, Aku buatin Bubur
Pedas,”
“Si
Nita memang adik yang paling baik ya, akan Abang habiskan semua buburnya,”
Perbincangan
di sore itu sangat akrab. Awan dan Nita terbiasa dengan canda dan tawa dalam
keseharian mereka. Awan memang sangat menyukai Bubur Pedas. Bubur ini merupakan
salah satu makanan khas dari Aceh Tamiang. Bubur ini memiliki cita rasa yang
khas dan mempunya kesan tersendiri bagi yang memakannya, selain rasanya yang
menggugah selera, cara pembuatannya juga sangat sederhana. Terbuat dari beras
yang disangrai kemudian ditumbuk halus, ditambah dengan tetelan, bumbu halus,
daun salam, serai dan lengkuas. Beras dimasak dan ditambahkan dengan wortel,
kacang panjang, kangkung, ubi, dimasak hingga matang. Bisa ditambahkan dengan
ikan teri, bawang goreng, dan kerupuk. Campuran dari segala banyaknya bahan
kata orang-orang tua dulu mengandung arti kalau masyarakat Tamiang yang
bersuku-suku kalau ingin saling berkuasa sendiri pasti akan hancur, tapi kalau
sendiri pasti menjadi kuat dan nyaman bagi semua. Inilah merupakan sedikit
cerita singkat, mengapa bubur pedas ini terdiri dari banyak campuran berbagai
macam bahan masak.
“Bang,
aku pinginlah bisa ke kota Banda Aceh. Tau gak, kemaren si Mila anak tetangga
sebelah ada foto di facebook nya lagi
jalan-jalan ke Museum Tsunami, ternyata Aceh kaya ya Bang!”
“Iyalah
Nita, Aceh memang memiliki banyak sekali tempat wisata yang memiliki keindahan
alami dan luar biasa. Walaupun belum pernah ke sana, tapi sering mendengar dan
membaca berbagai informasi mengenai Aceh sekarang. Museum Tsunami itu salah
satu bangunan untuk mengenang kembali peristiwa Tsunami yang menimpa Aceh 26
Desember 2004 silam. Sudah magrib ini, Abang mau siap-siap dulu ke mesjid.”
---
Keesokan
harinya, Awan kembali bergegas ke kampusnya. Seperti biasa dengan menggunakan
angkutan umum. Kalau tidak ada, Awan terpaksa pergi dengan Pak Abu, seorang
pemilik kebun kelapa sawit. Hari itu Awan terlambat dan untung saja ada Pak Abu
yang masih menghidupkan truknya.
“Pak
Abu saya boleh numpang pak?”
“Iya,
tentu saja tolong kamu angkat biji-biji sawit ini,”
Akhirnya Awan berangkat dengan Pak
Abu, di dalam perjalanan mereka pun mendiskusikan hasil kelapa sawit yang
dimiliki Pak Abu.
Awan di kampusnya sering ke
perpustakaan untuk membaca. Biasanya buku yang Ia baca tentang Aceh. Dia sangat
menyenangi bacaan tersebut, selain memperluas wawasan bisa lebih mencintai
tanah kelahirannya.
---
Hari ini Sabtu, setelah pulang dari
kuliahnya, Awan memiliki pekerjaan yang sangat Ia gemari.
“Ibu, Aku mau pergi ke Bukit Kerang
ini. Dimana kue-kuenya?”
“Iya Nak, itu sudah Ibu bungkus di
dalam plastik hitam di dapur. Habiskan ya dagangannya!”
“Iya Mak, Aku pergi dulu. Assalamualaikum,”
jawab Awan.
Setelah
berpamitan, Awan bergegas pergi menuju Bukit Kerang yang memakan waktu satu jam
dari rumahnya. Situs Bukit Kerang atau juga disebut Bukit Kerang Moluska ini
terletak di desa Jambo Labu merupakan salah satu objek wisata yang terdapat di
sana. Dinamakan Bukit Kerang karena terdapat tumpukan kerang seperti bukit yang
tinggi dan besar. Situs Prasejarah ini terbentuk dari limbah kerang moluska
dibangun dari waktu ke waktu. Awan menjadi salah seorang pengunjung di sana.
Namun, Awan tidak hanya berkunjung, setiap Sabtu dan Minggu sore Ia ke sana
untuk membantu perekonomian keluarganya dengan menjual Timphan. Tidak hanya itu, Awan juga menjadi pemandu jika ada
wisatawan yang berkunjung. Dengan menggunakan kelihaian berbahasa dalam menjelaskan
berbagai pertanyaan pengunjung dan keramahannya, tidak heran banyak pengunjung
yang tertarik dan senang terhadap Awan.
Hari
semakin sore, Awan pun bersiap-siap untuk pulang ke rumah.
“Alhamdulillah,
dagangan Ibu laku semua,” bisiknya dalam hati
“Semoga
saja dengan begini, Aku bisa membahagiakan Ibu. Suatu saat! Aku pasti bisa!”
---
“Abang...
Bangun! Udah pagi,” Nita membangunkan Awan yang masih tidur.
“Iya,
Abang terlalu lelah ini langsung ketiduran. Yasudah, kita Shalat Subuh
berjamaah di rumah ya,”
Kemudian
mereka shalat subuh berjamaah.
Seusai
Shalat Subuh, mereka pun kembali melanjutkan kegiatan sehati-hari. Hari ini
Minggu, saatnya gotong royong untuk membersihkan rumah dan halamannya.
Sementara Nita dan Ibu memasak nasi minyak dan sambal Belacan Tutuk. Nasi
minyak sudah menjadi masakan khas masyarakat di Nusantara ini. Sedangkan
Belacan Tutuk adalah terasi yang terbuat dari udang sabu asli dan menjadi
souvenir khas dari Aceh Tamiang.
Seperti
biasanya, Awan pergi ke Bukit Kerang untuk melaksanakan aktifitasnya. Sampai di
sana, Awan melihat sekelompok orang sedang berkumpul. Melihat hal tersebut,
Awan langsung menghampiri kerumunan itu. Ternyata di sana ada turis asing
bersama keluarganya sedang berekreasi. Sepertinya mereka sedang kebingungan,
Awan pun mencoba untuk menolong mereka.
“Hello Sir, May I help you ”
“Oh, Yes. I need someone to tell about this
place,”
“Okay. Sir, Nice to meet you. Yes. I want to
tell about Bukit Kerang,”
Sambil
melanjutkan pembicaraan bersama turis asing itu, Awan tidak hanya menjelaskan
mengenai Bukit Kerang. Namun, Awan juga menjelaskan tempat-tempat wisata
lainnya yang terdapat di sana seperti Air Terjun Tujuh Tingkat, Bendungan, Gua
Wallet, dan Pantai Seruway yang tidak kalah indahnya.
Dengan
kelihaian mahasiswa jurusan bahasa Inggris ini, Ia pun mencoba menawarkan Timphan khas Ibunya.
“Sir, do you want to eat this food? This is
one of traditional food. This is made by my mother,”
“Thank you, This is very nice. May I learn
how to make this?”
“Sure, Sir. I’m glad to help you,”
Tiba-tiba
turis tersebut mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
“Oke Son, this is my cardname. I want to
invite you to my house in London,” dengan wajah yang serius turis ini ingin
mengajaknya pergi bersama ke London dan memberikan kesempatan untuk bersekolah
disana. Ternyata turis ini tertarik dengan keramahan dan wawasan yang Awan
miliki. Kemudian, Awan akan diberikan semua fasilitas yang diperlukan. Selain
itu, Ia juga dipercayakan menjadi seorang guru untuk mengenalkan budaya
Indonesia. Mendengar hal tersebut Awan tidak henti-hentinya mengucapkan syukur
dan Awan sangat bahagia. Bagaikan petir di siang hari, seakan-akan Ia tidak
percaya bahwa seorang anak desa yang tidak pernah mengenal apa-apa kini diajak
ke Negeri orang.
---
Seusai shalat magrib, di dalam
doa Awan
“Ya
Allah, terima kasih nikmat yang Engkau berikan ini. Saya tidak pernah mengira
sebelumnya. Namun, Ini semua telah terjawab. Engkau Maha Mendengar impian
hamba. Hamba percaya akan kegigihan dan semangat ini dan doa dari orang tua
akan menghasilkan suatu keajaiban. Tidak putusnya ku panjatkan syukurku padaMu.
Namun, mengingat usia Ibu sudah bertambah bersama adik perempuan yang masih
kecil, sedangkan perekonomian keluarga kami pas-pasan. Hamba sepertinya mundur,
tidak bisa meninggalkan mereka. Tapi, semua itu hamba serahkan kepadamu ya
Allah. Engkau lebih mengetahui yang terbaik dan apa yang saya butuhkan,”
Dalam
doanya Awan sambil meneteskan air mata, Ia bingung harus pergi atau tetap
bersama Ibunya. Dilihatnya kembali kartu nama turis itu. Perasaan Awan malam
ini tidak tenang. Ia terus berdoa agar diberikan petunjuk.
---
Keesokan
harinya. Setelah pulang kuliah, tiba-tiba Awan melihat sebuah mobil di depan
rumahnya.
“Itu,
sepertinya mobil Yah Bang, ada apa ya?”
Yah Bang
adalah abang dari ayahnya yang tinggal di kota Banda Aceh. Sampai ke pintu
rumah, melihat Ibu, Nita, dan Yah Bang sedang duduk bersama sambil meminum Kupi Aceh dan Kue Boi .
“Assalamualaikum.
Yah Bang,” salam Awan seraya masuk ke rumah
“Waalaikumsalam.
Awan, ada yang perlu Yah Bang ceritakan kepadamu,”
Kemudian Yah
Bang menjelaskan maksud dan tujuannya, yaitu beliau ingin mengajak Awan
sekeluarga untuk tinggal sementara bersama istri Yah Bang di Banda Aceh karena
beliau mendapatkan pekerjaan di Pulau Jawa. Mendengar hal itu, pikiran Awan
bertambah bercabang tidak menentu.
“Iya yah
Bang. Insyaallah kami bisa. Lagi pula Awan mendapatkan beasiswa ke luar negeri.
Biarkan saya sementara di Banda. Setelah Awan pulang, saya ingin kembali ke
sini,” tiba-tiba ibu menjawab dengan perasaan yang haru.
Dipeluknya
erat-erat Ibu, “Ibu Awan sangat mencintaimu, tidak ada Ibu yang lain sepertimu.
Ibu terbaik buat Awan,”
Setelah semua
selesai, akhirnya Awan berangkat ke London dan Ibu berserta Nita tinggal bersama
istri Yah Bang di Banda Aceh. Dengan tekad yang kuat dan tidak ingin
mengecewakan Ibu, Awan serius menjalankannya.
Selama di
London, Awan hanya bisa berdoa agar Ibu baik-baik saja dan rasa rindu terhadap
kampung halaman semakin besar. Ia pun sukses dengan meraih berbagai penghargaan
di bangku kuliahnya dan menjadi seorang koki yang handal di sebuah restauran
Asia ternama. Setelah sekian lama Awan tinggal di London, akhirnya hari yang
sangat ditunggu datang.
“Ya! Tiga
hari lagi aku akan pulang!” teriak Awan
---
Awan senang
tidak menentu, selama di pesawat Awan terus tersenyum dan tiba juga di Bandara
Sultan Iskandar Muda. Di bandara yang megah, bangunannya dengan arsitektur
bernuansa Turki ini menambah khasnya.
Beberapa hari
di Banda Aceh, Awan menyempatkan diri untuk mengunjungi Museum Tsunami, Mesjid
Raya Baiturrahman, Taman Putro Phang, dan yang tidak kalah indahnya Pantai
Lhoknga. Pantai Lhoknga sudah menjadi tempat wisata masyarakat Aceh bahkan
manca negara. Banyak pohon-pohon rindang terutama pohon kelapa berjejer dan
rimbun dan juga ada pohon cemara. Pantai ini memiliki pasir putih dengan
lautnya yang biru tampak ikan-ikan kecil berwarna-warni di dalamnya. Deretan
penjual makanan dan minuman di pondok-pondok pantai, memiliki kesenangan
tersendiri bagi pengunjungnya.
Awan beserta
keluarga kembali pulang ke Desa Upah tercinta. Awan pun memulai hidup barunya
dengan merenovasi rumah. Setelah menerima cukup penghasilan selama di London,
Awan membuka sebuah Restoran Khas Aceh yang dihadiahkan untuk Ibu dan Nita.
Rasa bangga dan haru karena anak lelaki sematawayangnya, Ibu tersenyum dalam
tangis bahagianya. Kini Awanku menjadi anak yang sukses. Awan yakin bahwa mimpi
kecil akan menjadi besar jika kita mau, semua ada jalan. Tidak lupa pula,
setiap Sabtu dan Minggu Awan mengunjungi Bukit Kerang dan ikut menjadi
sukarelawan dalam pemeliharaan dan pelestarian tempat wisata lainnya.
“Kecintaanku terhadap tanah kelahiranku Aceh, tidak akan putus sampai ku
menutup mata,”.
Selesai
Lampiran
Penulis
Nama :
Dara Elvia Rahayu Sukma
Alamat : Jalan Prada Utama lr.
Komplek pariwisata no.9 , Banda Aceh
Nomor
telepon/hp : 085277722011
e-mail :
daraelviarahayusukma@yahoo.com
Pekerjaan :
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Univ. Syiah Kuala
Kategori
perlombaan : CERPEN